43
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Bagaimana hukumnya i’tikaf di masjid yang dilakukan (masuk) dari shalat isya sampai (pulang) shalat subuh?
Jazakallahu khairan
Jawaban:
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah
Ulama berbeda pendapat tentang rentang waktu minimal seseorang diam di masjid, sehingga bisa disebut melakukan i’tikaf (Fiqhul I’tikaf, 18).
Baca juga: Surah Al Qadr 1-5 beserta Artinya, Tafsir, dan Asbabun Nuzul
Jangka Waktu Minimal I’tikaf
Mengenai waktu minimal disebut i’tikaf terdapat empat pendapat di antara para ulama.
Pendapat pertama: Yang dianut oleh jumhur (mayoritas) ulama hanya disyaratkan berdiam di masjid. Jadi telah dikatakan beri’tikaf jika berdiam di masjid dalam waktu yang lama atau sebentar walau hanya beberapa saat atau sekejap (lahzhoh). Imam Al Haromain dan ulama lainnya berkata, “Tidak cukup sekedar tenang seperti dalam ruku’ dan sujud atau semacamnya, tetapi harus lebih dari itu sehingga bisa disebut i’tikaf.”
Pendapat kedua: Sebagaimana diceritakan oleh Imam Al Haromain dan selainnya bahwa i’tikaf cukup dengan hadir dan sekedar lewat tanpa berdiam (dalam waktu yang lama). Mereka analogikan dengan hadir dan sekedar lewat saat wukuf di Arofah. Imam Al Haromain berkata, “Menurut pendapat ini, jika seseorang beri’tikaf dengan sekedar melewati suatu tempat seperti ia masuk di satu pintu dan keluar dari pintu yang lain, ketika itu ia sudah berniat beri’tikaf, maka sudah disebut i’tikaf. Oleh karenanya, jika seseorang berniat i’tikaf mutlak untuk nadzar, maka ia dianggap telah beri’tikaf dengan sekedar lewat di dalam masjid.”
Pendapat ketiga: Diceritakan oleh Ash Shoidalani dan Imam Al Haromain, juga selainnya bahwa i’tikaf dianggap sah jika telah berdiam selama satu hari atau mendekati waktu itu.
Pendapat keempat: Diceritakan oleh Al Mutawalli dan selainnya yaitu disyaratkan i’tikaf lebih dari separuh hari atau lebih dari separuh malam. Karena kebiasaan mesti dibedakan dengan ibadah. Jika seseorang duduk beberapa saat untuk menunggu shalat atau mendengarkan khutbah atau selain itu tidaklah disebut i’tikaf, haruslah ada syarat berdiam lebih dari itu sehingga terbedakanlah antara ibadah dan kebiasaan (adat). Demikian disebutkan dalam Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab 6: 513.
Pertama, waktu minimalnya adalah sehari (melewati siang hari).
Pendapat ini merupakan keterangan dari Abu Hanifah, pendapat sebagian malikiyah, dan salah satu pendapat ulama syafiiyah.
Ulama yang memilih pendapat ini beralasan bahwa diantara syarat sahnya i’tikaf adalah harus dilakukan dalam kondisi puasa. Sebagaimana keterangan dari Aisyah:
لا اعتكاف إلا بصوم
“Tidak ada i’tikaf kecuali dengan puasa.” (HR. Ad Daruquthni dan Baihaqi)
Dan syarat puasa ini hanya mungkin jika melewati waktu siang.
Kedua, waktu minimalnya adalah sehari semalam, dan ini merupakan pendapat mayoritas malikiyah.
Ini berdasarkan keterangan Ibnu Umar, beliau mengatakan:
لا اعتكاف أقل من يوم وليلة
“Tidak ada i’tikaf yang kurang dari sehari semalam.” (Disebutkan Syaikhul Islam dalam Syarhul Umdah, 2:760 dan beliau nyatakatan sebagai riwayat Ishaq bin Rahuyah)
Ketiga, batas minimal adalah sepuluh hari, dan ini berdasarkan salah satu keterangan Imam Malik.
Berdasarkan riwayat dari Aisyah, yang mengatakan:
كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعتكف العشر الأواخر حتى توفاه الله، ثم اعتكف أزواجه من بعده
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i’tikaf di sepuluh hari terakhir, sampai beliau diwafatkan oleh Allah. Kemudian para istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, boleh i’tikaf sehari saja atau semalam saja.
Berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar, bahwa Umar bin Khatab pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :
كنت نذرت في الجاهلية أن أعتكف ليلة في المسجد الحرام؟ قال: “فأؤف بنذرك
“Aku pernah bernadzar di zaman jahiliyah (sebelum masuk islam) utnuk melakukan i’tikaf semalam di masjidil haram?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Penuhi nadzarmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kelima, boleh i’tikaf meskipun beberapa saat saja. Inilah pendapat mayoritas ulama.
Pendapat ini berdasarkan makna bahasa dari kata “i’tikaf”. Kata “i’tikaf” secara bahasa artinya berdiam. Ibnu Hazm mengatakan:
فكل إقامة في مسجد لله تعالى بنية التقرب إليه اعتكاف
“Semua bentuk berdiam di masjid karena Allah, dalam rangka beribadah kepada-Nya, termasuk i’tikaf.” (al-Muhalla, 5:179)
Pendapat ini dikuatkan dengan riwayat dari Ya’la bin Umayyah radhiallahu ‘anhu, beliau mengatakan:
إني لأمكث في المسجد الساعة، وما أمكث إلا لأعتكف
“Saya berdiam beberapa saat di masjid, dan tidaklah aku berdiam kecuali untuk i’tikaf.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dan Abdurrazaq dalam al-Mushannaf).
Sebagaimana dikemukakan di atas, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat minimal waktu i’tikaf adalah lahzhoh, yaitu hanya berdiam di masjid beberapa saat. Demikian pendapat dalam madzhab Abu Hanifah, Asy Syafi’i dan Ahmad.
Imam Nawawi berkata, “Waktu minimal itikaf sebagaimana dipilih oleh jumhur ulama cukup disyaratkan berdiam sesaat di masjid. Berdiam di sini boleh jadi waktu yang lama dan boleh jadi singkat hingga beberapa saat atau hanya sekejap hadir.” Lihat Al Majmu’ 6: 489.
Alasan jumhur ulama:
- I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). Berdiam di sini bisa jadi dalam waktu lama maupun singkat. Dalam syari’at tidak ada ketetapan khusus yang membatasi waktu minimal I’tikaf.
Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “I’tikaf dalam bahasa Arab berarti iqomah (berdiam). … Setiap yang disebut berdiam di masjid dengan niatan mendekatkan diri pada Allah, maka dinamakan i’tikaf, baik dilakukan dalam waktu singkat atau pun lama. Karena tidak ada dalil dari Al Qur’an maupun As Sunnah yang membatasi waktu minimalnya dengan bilangan tertentu atau menetapkannya dengan waktu tertentu.” Lihat Al Muhalla, 5; 179.
- Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhubahwa ia berkata,
إني لأمكث في المسجد الساعة ، وما أمكث إلا لأعتكف
“Aku pernah berdiam di masjid beberapa saat. Aku tidaklah berdiam selain berniat beri’tikaf.” Demikian menjadi dalil Ibnu Hazm dalam Al Muhalla 5: 179. Al Hafizh Ibnu Hajr juga menyebutkannya dalam Fathul Bari lantas beliau mendiamkannya.
- Allah Ta’alaberfirman,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ibnu Hazm berkata, “Allah Ta’ala tidak mengkhususkan jangka waktu tertentu untuk beri’tikaf (dalam ayat ini). Dan Rabbmu tidaklah mungkin lupa.” Lihat Al Muhalla, 5: 180.
Al Mardawi rahimahullah mengatakan, “Waktu minimal dikatakan i’tikaf pada i’tikaf yang sunnah atau i’tikaf yang mutlak adalah selama disebut berdiam di masjid (walaupun hanya sesaat).” (Al Inshof, 6: 17)
wallahu a’lam bi showab
Sumber https://rumaysho.com/3509-i-tikaf-di-malam-hari-siangnya-kerja.html